Bulan Maret 2006, Papa kena stroke. Aku dan 3 orang tanteku segera berangkat ke Menado untuk jenguk Papa yang diopname di rumah sakit.
Berangkat dengan Lion Air pagi sekitar jam 10.00 wib, kami sampai di Menado siang hari, langsung ke rumah sakit.
Sedih banget aku lihat Papa, seorang dokter ahli penyakit dalam, terbaring di tempat tidur karena stroke. Tapi alhamdulillah, masih bisa duduk bangun...tapi begitu diajak bicara, ngenes aku dengernya. Kalau kata orang sunda mah, ngomongnya balelol alias pelo, kecuali kalo Papa bicara pelan2 baru jelas.
Adikku bilang sebetulnya sudah terasa gejalanya oleh Papa tapi berhubung dia merasa seorang dokter, gejala itu dianggap remeh, malah cuma dianggap gejala sakit biasa. Sebelum masuk rumah sakit aja, Papa tidak mau diperiksa ke dokter lain. Sesudah dipaksa oleh adikku yg juga calon dokter, akhirnya Papa mau dibawa ke tempat praktek temannya. Sengaja teman Papa tidak mau periksa ke rumah, sebab kalo beliau ke rumah dan ternyata Papa harus diopname, pasti Papa menolak. Maka dari itu, Papa dibawa keluar supaya kalau harus masuk RS, bisa langsung diantar ke RS yang dituju. Pintar juga ya...taktiknya....
Sekarang, tidak terasa, sudah 1 tahun lebih sejak Papa terkena serangan penyakit itu. Syaraf bagian kiri Papa yang terkena. Jadi Papa harus banyak latihan lagi, baik itu latihan menggenggam dan latihan jalan lagi.
Yang buat aku sedih bukan hanya karena Papa kena stroke, tapi lebih karena Papa seperti tidak punya semangat untuk sembuh. Sering Papa mengucap seperti menyesali penyakitnya. Bukannya menyemangati dirinya sendiri supaya cepat sembuh malah Papa sering bilang, "Kenapa sih, mau mati aja kok susah?"
Sedih deh....dengernya.
Memang sih sejak Papa pensiun sepertinya Papa kehilangan semangat hidup. Setiap hari kata adikku, Papa hanya duduk di depan tv dari pagi sampai malam. Adikku ajak Papa untuk ikut seminar yg ada hubungannya dengan kedokteran, Papa tidak pernah mau ikut. Selalu bilangnya, "Papa kan sudah pensiun. Biar saja dokter2 yang masih dinas yang datang." Sepertinya Papaku kena "post power sindrom" atau kehilangan semangat sesudah pensiun.
Syukur alhamdulillah Allah mengkaruniakan seorang cucu laki-laki buat Papa dari adikku yang di Balikpapan. Dialah yang sampai saat ini jadi penyemangat Papa.
Bulan puasa kemaren, Papa dan Mama liburan ke Bogor. Biar Papa dapat suasana lain sekalian berobat ke dokter mata di RS Bhayangkara Jakarta. Ternyata Papa juga kena katarak.
Di RS Bhayangkara, kedua mata Papa di operasi dan alhamdulillah berhasil dengan baik. Juga Papa ke dokter di BSD, dokter khusus stroke. Papa harus ikut diet ketat, makan sayuran: brokoli, tomat 2 buah, timun 2 buah, daun selada 1 bonggol dan telur 2 butir putihnya saja ditambah ayam atau ikan tetapi tidak boleh digoreng. Dan setiap hari harus ke dokter tersebut untuk disuntik. Jadi setiap hari Papa pergi pulang Bogor - BSD untuk berobat. Kemajuannya lumayan cuma Papa susah diajak latihan. Di Bogor lama di Menado tetap dipertahankan...nonton tv dari sejak bangun tidur sampai mau tidur lagi di malam hari. Malah sering tertidur di depan tv.
Rencananya Papa dan keluarga di Menado akan pindah ke Bogor. Rumah sudah dibeli dan mereka sedang siap2 pindah dari Menado sambil menunggu sang calon dokter di wisuda dan yang paling kecil menunggu pengumuman penempatan kerjanya di kehakiman juga sambil menawarkan rumah yang di Menado untuk dijual.
Insya Allah, Lebaran tahun ini semua sudah pindah ke Bogor.
Semoga dengan kepindahan Papa ke Bogor, aku bisa menemukan lagi Papaku yg dulu. Papa yang ceria, Papa yang humoris, Papa yang ramah pada semua orang, gemar bergaul dan ngobrol ngalor ngidul, Papa yang religius dan yang lebih penting lagi Papa yang sehat seperti Papa sebelum terkena stroke, Insya Allah.
All the best for you, Dad!
Berangkat dengan Lion Air pagi sekitar jam 10.00 wib, kami sampai di Menado siang hari, langsung ke rumah sakit.
Sedih banget aku lihat Papa, seorang dokter ahli penyakit dalam, terbaring di tempat tidur karena stroke. Tapi alhamdulillah, masih bisa duduk bangun...tapi begitu diajak bicara, ngenes aku dengernya. Kalau kata orang sunda mah, ngomongnya balelol alias pelo, kecuali kalo Papa bicara pelan2 baru jelas.
Adikku bilang sebetulnya sudah terasa gejalanya oleh Papa tapi berhubung dia merasa seorang dokter, gejala itu dianggap remeh, malah cuma dianggap gejala sakit biasa. Sebelum masuk rumah sakit aja, Papa tidak mau diperiksa ke dokter lain. Sesudah dipaksa oleh adikku yg juga calon dokter, akhirnya Papa mau dibawa ke tempat praktek temannya. Sengaja teman Papa tidak mau periksa ke rumah, sebab kalo beliau ke rumah dan ternyata Papa harus diopname, pasti Papa menolak. Maka dari itu, Papa dibawa keluar supaya kalau harus masuk RS, bisa langsung diantar ke RS yang dituju. Pintar juga ya...taktiknya....
Sekarang, tidak terasa, sudah 1 tahun lebih sejak Papa terkena serangan penyakit itu. Syaraf bagian kiri Papa yang terkena. Jadi Papa harus banyak latihan lagi, baik itu latihan menggenggam dan latihan jalan lagi.
Yang buat aku sedih bukan hanya karena Papa kena stroke, tapi lebih karena Papa seperti tidak punya semangat untuk sembuh. Sering Papa mengucap seperti menyesali penyakitnya. Bukannya menyemangati dirinya sendiri supaya cepat sembuh malah Papa sering bilang, "Kenapa sih, mau mati aja kok susah?"
Sedih deh....dengernya.
Memang sih sejak Papa pensiun sepertinya Papa kehilangan semangat hidup. Setiap hari kata adikku, Papa hanya duduk di depan tv dari pagi sampai malam. Adikku ajak Papa untuk ikut seminar yg ada hubungannya dengan kedokteran, Papa tidak pernah mau ikut. Selalu bilangnya, "Papa kan sudah pensiun. Biar saja dokter2 yang masih dinas yang datang." Sepertinya Papaku kena "post power sindrom" atau kehilangan semangat sesudah pensiun.
Syukur alhamdulillah Allah mengkaruniakan seorang cucu laki-laki buat Papa dari adikku yang di Balikpapan. Dialah yang sampai saat ini jadi penyemangat Papa.
Bulan puasa kemaren, Papa dan Mama liburan ke Bogor. Biar Papa dapat suasana lain sekalian berobat ke dokter mata di RS Bhayangkara Jakarta. Ternyata Papa juga kena katarak.
Di RS Bhayangkara, kedua mata Papa di operasi dan alhamdulillah berhasil dengan baik. Juga Papa ke dokter di BSD, dokter khusus stroke. Papa harus ikut diet ketat, makan sayuran: brokoli, tomat 2 buah, timun 2 buah, daun selada 1 bonggol dan telur 2 butir putihnya saja ditambah ayam atau ikan tetapi tidak boleh digoreng. Dan setiap hari harus ke dokter tersebut untuk disuntik. Jadi setiap hari Papa pergi pulang Bogor - BSD untuk berobat. Kemajuannya lumayan cuma Papa susah diajak latihan. Di Bogor lama di Menado tetap dipertahankan...nonton tv dari sejak bangun tidur sampai mau tidur lagi di malam hari. Malah sering tertidur di depan tv.
Rencananya Papa dan keluarga di Menado akan pindah ke Bogor. Rumah sudah dibeli dan mereka sedang siap2 pindah dari Menado sambil menunggu sang calon dokter di wisuda dan yang paling kecil menunggu pengumuman penempatan kerjanya di kehakiman juga sambil menawarkan rumah yang di Menado untuk dijual.
Insya Allah, Lebaran tahun ini semua sudah pindah ke Bogor.
Semoga dengan kepindahan Papa ke Bogor, aku bisa menemukan lagi Papaku yg dulu. Papa yang ceria, Papa yang humoris, Papa yang ramah pada semua orang, gemar bergaul dan ngobrol ngalor ngidul, Papa yang religius dan yang lebih penting lagi Papa yang sehat seperti Papa sebelum terkena stroke, Insya Allah.
All the best for you, Dad!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar